Monday, September 14, 2009

Opini Amo Martinho

Kado 10 Tahun Referendum:
Indonesia “Menampar Muka” Timor Leste

Martinho G. Da Silva Gusmão



Landasan nation building menurut Kitab Suci Kristiani ialah hukum (lei). Itu yang tertuang dalam Dasa-Firman Tuhan (Os dez mandamentos da Lei de Deus; Maromak nia Ukun Fuan Sanulu). Seluruh isi Dasa-Firman telah dikembangkan dalam filsafat humanisme yang meretas prinsip-prinsip hak azasi manusia. Kalau kita membaca filsafat politik modern, maka akan ditemukan argumen yang sangat konsisten bahwa tanpa inspirasi Judeo-Kristiani, maka gagasan tentang hak-hak azasi manusia, demokrasi dan budaya modernitas kehilangan jejak langkahnya. Dengan kata lain, hak-hak azasi manusia, modernitas dan demokrasi lahir dari jantung hati kekristenan itu sendiri (J. Habermas dan J. Ratzinger: 2004; Marcello Pera dan J. Ratzinger: 2004).
Adalah tidak masuk akal jika Dom Alberto Ricardo (Uskup Dili) dan Dom Basilio do Nascimento (Uskup Baucau) setuju dengan tindakan PR Dr. Ramos Horta dan PM Xanana Gusmão untuk melepaskan Komandan Laksaur Martenus Bere sebagaimana dulu, pelepasan Rogerio Lobato dan Jhoni Marques. Tindakan semacam itu hanya mengandaikan bahwa kedua Uskup telah melenceng dari tradisi dan ajaran sosial Gereja Katolik. PM Xanana Gusmão mengatakan bahwa “Igreja mos respeita desizaun ne’ebé Estadu foti” (Gereja menghormati keputusan yang diambil Negara). Pernyataan PM Xanana sangat bersayap “... governu no estadu halo ona konsulta ho Igreja” (... pemerintah dan negara sudah konsultasi dengan Gereja). Masalahnya, ketika Dom Basilio ditanya oleh penulis, beliau sendiri heran dan terkejut. Katanya, beliau tak tahu menahu siapa itu Martenus Bere, siapa dan apa peranannya di masa lalu. Dom Basilio mengatakan, bahwa “Kebetulan saja Jaime Gama (mantan Menlu Portugal) mengeluh bahwa acara peringatan itu terlambat dari jadwal yang ditentukan karena Ramos Horta dan Xanana Gusmão masih mengurus Hasan Wirayuda”. Selanjutnya, Dom Basilio tidak tahu masalahnya. Di sini sudah terbukti bahwa atau PM Xanana yang berbohong atau MJ Lucia Lobato yang melakukan manipulasi terhadap posisi Gereja Katolik. [Kalau Presiden Ramos Horta, istilahnya “sudah biasa”]. Sebagaimana halnya dengan Dom Ricardo, penulis mendapat bocoran bahwa Uskup Dili sangat terganggu dengan pernyataan PM dan MJ. Sudah bukan rahasia bahwa Uskup-Uskup Timor Leste meminta “pengadilan internasional”. Bagaimana mungkin mereka bisa setuju melepaskan Martenus Bere? Lagi-lagi, pasti para pejabat negara telah berbohong dengan memakai gerbong Gereja Katolik.
Namun pertanyaannya: apakah Gereja Katolik benar-benar secara harafiah mengusulkan pelepasan tanpa syarat bagi Martenus Bere [Rogerio Lobato dan Jhoni Marques]? Haruskah Uskup-uskup menjadi Presidente Tribunal de Recurso (TR) atau Supremo Tribunal de Justiça (STJ) untuk mengatakan kepada Presiden Republik agar melepaskan tahanan tanpa syarat? Dengan segala hormat pada Presidente RDTL Ramos Horta dan PM Kay Rala Xanana Gusmão dan keunggulan moral kedua pejabat beragama Katolik itu, saya percaya bahwa telah terjadi manipulasi untuk menjebak Uskup-Uskup ke dalam permainan kotor ini!
Tetapi marilah kita berpikir secara jernih tentang persoalan tersebut secara utuh dan dilihat dari berbagai sudut. Pertama-tama, kita menyorot politik “represif” yang masih menyimpan sisa-sisa keangkuhan politik Orde Baru Indonesia atas Timor Leste yang diterapkan Menlu RI Dr. Hasan Wirayuda. Beliau rupanya masih mengidap penyakit Orba yang kambuh lagi dalam “menganeksasi” wilayah kekuasaan Timor Leste. Kemudian kita menyoal pemahaman (dan penghayatan) paradigma “kebenaran dan persahabatan” yang makin terasa sebagai “kebohongan dan permusuhan” Indonesia-Timor Leste di aras politik.

Diplomasi «Ngambek»

Bukanlah taktik baru, jika dalam urusan Timor Leste, Indonesia selalu memakai acara diplomasi «ngambek» (= diplomacia manhosa). Sudah sejak jaman perjuangan dulu, banyak upaya untuk mendiskusikan penyelesain «secara damai» situasi di Timor Timur (waktu itu), selalu berakhir dengan sia-sia. Biasanya, langkah yang diambil di Timor Timur tidak akan ditanggapi oleh Jakarta.
Ambilah contoh, memoir Letjen (Purn) TNI Sintong Panjaitan, «Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando» (2009). Kalau kita membaca halaman demi halaman tentang «Timor Timur», kita akan mendapati kenyataan kramanisasi politik Indonesia yang ditunjang oleh paradigma kultural Jawa. Hanya gara-gara Soeharto ngambek oleh langkah-langkah yang diambil Jendral asal Batak itu, maka jerat pun dipasang. Pangdam IX/ Udayana itu memandang perlu untuk merevisi penyelesaian masalah Timor Timur. Secara militer ia meminta «operasi teritorial» untuk mengganti “operasi tempur”. Pada tataran politik ia meminta “daerah terbuka” dan “otonomi khusus” (atas usulan Uskup Belo). Ternyata, Soeharto tidak menyukai gagasan otonomi khusus. Maka, “oknum tak dikenal” pun menyusup ke Timor Timur dan pecahlah tragedi Santa Cruz, 12 November 1991. Sintong pun pensiun dini. Dan tamatlah riwayat Jendral brilyan itu hanya karena Soeharto [dan orang-orangnya] tidak menyukai ‘bintang’ Sintong.
Hal yang sama diterapkan pada Uskup Belo, ketika Soeharto berkunjung ke Timor Timur, 1996. Saat itu ia hendak meresmikan Patung Kristus Raja di Areia Branca, Dili Timur. Mereka duduk berdampingan, tetapi Soeharto tutup mulut. Memberikan ucapan “selamat” atas Hadiah Nobel Perdamaian 1996 untuk Uskup Belo saja, Soeharto enggan. Sikap ‘diam’ dan ‘nggrundel’ adalah tanda tidak suka atau ngambek. Bacalah, misalnya memoir dai Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie, “Detik-Detik yang Menentukan” (2006). Di situ, Habibie menulis bahwa, pertama kali Uskup Belo diajak berbicara “baik-baik” oleh Presiden Republik Indonesia. Hanya Habibie saja – orang Makassar – yang berani mengundang Uskup Belo untuk berbicara gamblang tentang penyelesaian masalah Timor Timur. Selama ini, dia didiamkan saja oleh Soeharto. Meski, Uskup Belo memahami betul karakter persoalan dan cara menyelesaikan masalah Timor Timur.
Terus, sewaktu Presidente RDTL Xanana Gusmão (waktu itu) berangkat ke New York untuk membawa laporan dari CAVR (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação), maka para politisi Indonesia mulai ngambek. Sampai Presidente Xanana Gusmão tiba di Jakarta pun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bersedia menerima kunjungan itu. Sekali lagi, diplomasi ngambek. Bahkan media di Indonesia ikut “mengeroyok” dengan memberi pandangan miring pada Presiden Xanana. Dengan segala hormat pada kebesaran SBY, dia tetaplah orang Jawa yang suka memakai diplomasi ngambek.
Sekarang, Dr. Hasan Wirayuda datang sebagai sahabat. Tetapi Dr. Wirayuda pun menerapkan diplomasi “ngambek” tersebut di Timor Leste. Kalau tradisi orang Timor Leste selalu beranggapan, “jika bertamu, janganlah minta yang aneh-aneh”. Jika diberi makan jagung, ya terima; diberi nasi, ya makan! Kalau ternyata sang tamu minta yang aneh-aneh, itu sama dengan “muntah di dalam sup”, atau “menampar muka” tuan rumah.
Sebenarnya hal serupa juga berlaku di Indonesia. Dalam tata krama (= istilah Jawa) atau ettiquete (istilah Perancis), tamu yang baik dan sopan biasanya tidak ngambek. Kecuali, tamu itu datang bersama anak ingusan. Maklumlah, namanya juga anak-anak. Tuan rumah pun akan dengan senang hati meladeni anak-anak, apalagi yang lucu-lucu dan nakal-nakal. Jika tidak suka, orang Jawa hanya bergurau, “anak polah bapa kepradhah” (= anak yang bertingkah, ayah yang bertanggungjawab). Tetapi, kalau orang tuanya ikut-ikutan lucu-lucu dan nakal-nakal maka jadi janggal. Bikin “ngisin” atau “risih”, katak orang Jawa. “Halo moe an deit”, kata orang Timor Leste. Lagi, “ora ilok” (tidak pantas), “amit-amit nuwun sewu”!

Relativisme Kebenaran

Peringatan 10 tahun Referendum, bukanlah acara “among-among” (tradisi Jawa; selamatan untuk anak-anak, yang hadir juga anak-anak). Tetapi tindakan yang diambil oleh Presiden RDTL Dr. Ramos Horta dan sikap ngambek yang dibikin oleh Menlu Dr. Wirayuda telah membuat masyarakat Timor Leste merasa tertampar mukanya. Ini hadiah yang benar-benar bikin ngisin dan ora ilok. Hanya demi kedatangan Dr. Wirayuda, Presiden Ramos Horta menekan Perdana Menteri Xanana Gusmão dan Menteri Kehakiman Lucia Lobato [sebenarnya tidak jelas siapa menekan siapa] agar melepaskan Martenus Bere dari penjara Becora. Hal ini telah membuat Timor Leste ditampar di muka umum. PBB langsung memberi reaksi negatif dan mengutuk tindakan melawan hukum itu. Di deretan tamu VVIP, hadir banyak tokoh dunia dan negara sahabat yang tentu saja miris dengan keputusan Presiden Ramos Horta. Sejumlah media di Indonesia langsung memberikan reaksi yang kurang mendukung terhadap diplomasi ngambek Horta-Wirayuda.
Masalahnya, Martenus Bere sudah masuk kategori daftar orang yang harus ditangkap dan diadili atas kasus Referendum 1999. Tragedi yang mengakibatkan tewasnya banyak orang di Suai [termasuk Pe. Hilario Madeira, Pe. Francisco Soares dan Pe. Tarcisius Dewanto, SJ] belum juga diadili. Dia adalah salah satu dari pelaku kunci. Maka, adalah pantas menurut Undang-Undang dan Konstitusi ia harus ditangkap dan diadili.
Memang dalam kerangka hubungan Indonesia–Timor Leste, konsep “kebenaran dan persahabatan” telah menghiasi halaman rumah tangga kita masing-masing. Itu tidak berarti, antara sahabat tidak pernah terjadi konflik. Di masa lalu. Di masa depan. Indonesia dan Timor Leste telah menjalani masa lalu yang pahit. Mengakui pengalaman pahit adalah bagian dari kemanusiaan yang adil dan beradab. Orang-orang NAZI Jerman dan juga orang-orang Jepang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan selama PD-II mampu membuktikan diri sebagai kaum “beradab” karena mengakui kesalahan sejarah yang dilakukannya. Tentu saja ini bukanlah hal yang gampang. Ini membutuhkan sikap ksatria. Bahkan Fredrich Nietzsche yang meniupkan nafiri kebanggan moral bangsa Jerman pernah berkata, “Even the bravest of us rarely has the courage for what he really knows ...” (bahkan orang yang paling hebat di antara kita jarang memiliki keberanian terhadap apa yang dia sesungguhnya tahu ...).
Saya dididik dan belajar di “alam integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Seluruh masa mudaku habis di Jawa. Dan saya mengenal dengan lumayan baik, apa artinya javanisasi politik Indonesia atau kramanisasi etika politik di Indonesia. Seorang dosen di bidang etika Jawa pernah mengatakan bahwa jika anak-anak Belanda dididik untuk “tidak berbohong”, maka anak-anak Jawa dididik untuk “tidak menyakiti”. Hasilnya, anak-anak Belanda mengetahui apa itu “kebenaran”, sedangkan anak-anak Jawa memahami apa itu “keserasian”. Maka disimpulkan bahwa etika politik orang Jawa – thus, politik Indonesia – ialah lebih suka berbohong untuk tidak menyakiti, dari pada mengatakan kebenaran hanya untuk mengungkit hal-hal yang menyakitkan.
Karena itu, orang Jawa sering mengatakan ngono ya ngono, ning ojo ngono (begitu ya begitu, tapi jangan begitu). Artinya, relativisme dalam kultur ini hendak menekankan bahwa mungkin sesuatu memang benar terjadi begitu, tetapi seyogyanyalah jangan mengatakan bahwa benar begitu. Agar tidak mumet dan nglibet, maka boleh dikatakan secara pendek: jangan berkata hal sebenarnya jika hanya membuat orang lain “tidak enak”, ngisin, risih. Pada kenyataannya, “orang lain” yang dianggap orang, yah, hanya kepentingan Indonesia. Sedangkan sikap, pandangan dan perasaan orang Timor Leste tidak masuk dan tidak pernah masuk hitungan. Orang Timor Leste harus nunut pada orang Indonesia (Jawa), dan orang Indonesia tidak perlu katut pada orang Timor Leste. Pada tataran ini, istilah “fairness” sebagai landasan “keadilan” sudah menghilang dan dihilangkan.

Landasan Persahabatan

Bagaimana pun juga, konsep “persahabatan” terletak pada hubungan yang serasi, harmoni nan lestari antara pribadi. Persahabatan bisa mendasari kebajikan sebuah politik yang beradab. Begitu ajaran Aristoteles. Jika kita membaca trilogi Aristoteles yaitu Nicomachean Ethics, Eudemian Ethics dan Magna Moralia, kita akan menjumpai gagasan-gagasan luar biasa bahwa “persahabatan” (= philia) pada mulanya merupakan landasan filsafat etika dan politika. Pertanyaan yang bisa diajukan ialah (a) Apa saja bentuk persahabatan yang melandasi hakekat persahabatan?; (b) Apa artinya jika “philia” (cinta diri/ self love) sebagai landasan persahabatan?; (c) Bagaimana rasa pemuasan diri (self-suficiency) bisa digantikan demi keserasian persahabatan?
Persahabatan ini pantas diajukan agar dalam membina persahabatan antara Indonesia dan Timor Leste, tidak boleh terjadi “ganti rugi” melulu. Artinya, Indonesia jangan hanya mengganti persahabatan dengan Timor Leste dengan cara merugikan saja.
Menurut pandanga filsuf tersebut, persahabatan harus berpijak pada ‘sikap saling’ (reciprocity) menguatkan, mendukung atau menolong. Ada sikap kebersamaan. Kongkritnya, jika politisi Timor Leste (Ramos Horta, Xanana Gusmão, Fernando Lasama, Mari Alkatiri) dengan sikap agung menolak Pengadilan Internasional, paling tidak Indonesia pun menolong dengan cara menunjuk keberadaan para korban 12 November 1991, orang hilang selama 1975-1999, semacam Nicolau Lobato, David Alex Daitula, dll. Pada kenyataannya, Ramos Horta sudah melepaskan Jhoni Marques, Martenus Bere dan menolak mentah-mentah pengadilan internasional, tetapi Indonesia masih cuek dengan keinginan masyarakat Timor Leste, khususnya para korban tanpa dosa. Itu berarti Indonesia dan Timor Leste tidak pernah memiliki landasan persahabatan. Alias, persahabatan tanpa bentuk.
Selanjutnya, “philia” selalu mengandaikan bahwa cinta diri menjadi landasan bagi kebaikan bersama (bonum comunae). Kebaikan bersama bukanlah masalah materi, bukan jumlah dari hal-hal yang baik, bukan pula cara-cara yang diakumulasi sebagai kebaikan. Kebaikan bersama adalah nilai dasar di mana – dalam kasus Timor Leste dan Indonesia – harus diterima bersama. Jika kita perhatikan, apa yang terjadi selama ini ialah “kebaikan” Indonesia selalu menjadi alasan “bersama”. Sedangkan perasaan “bersama” Timor Leste tidak pernah menjadi “kebaikan” bagi Indonesia. Taruhlah contoh, pencalonan diri Prabowo dan Wiranto menjadi Presiden Republik Indonesia. Timor Leste tidak pernah mencampuri atau ngambek. Mungkin sikap tersebut sebagai bagian dari toleransi, agar Indonesia bisa menyelesaikan masalahnya secara “adil dan beradab”. Tetapi, alangkah menggelikan dan adalah tindakan bodoh jika Indonesia terus mencampuri urusan Timor Leste atas nama kebaikan bersama. Kasus Martenus Bere ialah tindakan bodoh dan melanggar “kebaikan bersama”.
Akhirnya, jika kebaikan bersama dilanggar sesungguhnya tak ada lagi alasan bagi Indonesia dan Timor Leste untuk melanjutkan persahabatan elite politik sambil mengorbankan kebaikan rakyat kedua negara. Bagaimana pun juga nasib korban dari pihak Timor Leste di Indonesia, dan korban dari Indonesia di Timor Leste tak pernah menjadi perhatian kita bersama. Keserasian persahabatan antara Indonesia dan Timor Leste sudah luntur dengan sendirinya.

Akhirul kalam

Kasus pembebasan Martenus Bere [Rogerio Lobato dan Jhoni Marques] adalah sebuah bukti paling nyata, bahwa Ramos Horta dan Xanana Gusmão sedang mendemonstrasikan “keangkuhan politik” di Timor Leste. Mereka adalah pahlawan. Dan bagi pahlawan, negara merupakan hasil bentukannya. Karena itu, mereka memperlakukan negara sebagai “cosa nostra” (istilah populer di kalangan mafia Italia). Bagi mereka berdua, Lembaga Hukum (Tribumais) dan Parlamen Nasional adalah “mainan”. Jika dulu Ramos Horta menjadi Perdana Menteri dengan “kursi tiga kaki” dari FRETILIN, maka sekarang Timor Leste tinggal “dua kaki” demokrasi. Pengadilan dan Parlamen sudah dipotong-potong seenaknya. Selebihnya, Gereja Katolik adalah “alas kaki”. Rakyat Timor Leste adalah “sampah”.
Dan Indonesia melihat dengan jeli kesempatan itu. Harus diakui bahwa “kemerdekaan” Timor Leste merupakan sebuah luka sejarah di halaman-halaman memori Indonesia. Tidak mudah bagi Indonesia untuk menerima kenyataan tersebut sebagai sebuah kebenaran. Dalam tata krama budaya politik Indonesia, terlepasnya Timor Leste dari Indonesia merupakan situasi “kehilangan muka”. Kenyataan itu menimbulkan “risih” (ngisin) dan “borok” bagi sejarahnya. Karena itu, Indonesia perlu mengambil semua cara dan segala tindakan untuk “taruh muka” di tempat yang layak dan pantas. Caranya, bila perlu menampar muka Timor Leste. Dan peringatan 10 tahun referendum adalah cara yang tepat untuk menampar muka kami. Namanya “peringatan”. Jadil, ini merupakan cara “peringatan” untuk “mengingatkan” Timor Leste, bahwa di sini Indonesia masih ada!

*) Penulis adalah alumnus fakultas filsafat pada Universitas Kepausan Gregoriana Roma; dosen etika dan filsafat politik di Dili, juga direktur Komisi Keadilan dan Perdamaian di Diosis Baucau.